Indonesia Piramida Gunung Padang

Indonesia Piramida Gunung Padang

Gunung Padang 'berpotensi menjadi piramida tertua di dunia' - Bagaimana bentuk dan fungsinya?

Sumber gambar, Fairfax/Getty

Peneliti Danny Hilman Natawidjaja menyebut hasil penelitian terbarunya soal Gunung Padang bakal mengubah sejarah bahwa peradaban di Indonesia sudah berkembang sebelum abad ke-4 Masehi. Sebab, menurut hasil penelitian Danny, Gunung Padang berpotensi menjadi piramida tertua di dunia.

Itu mengapa dia berharap dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap rahasia tersembunyi sekaligus peradaban kuno di situs misterius tersebut.

Akan tetapi, arkeolog dari Jawa Barat, Dr Lutfi Yondri, menyebut kesimpulan itu mengada-ada karena hasil verifikasinya dan kajian literatur yang ada menyebutkan piramida tidak ada dalam lintasan budaya di Indonesia.

When was Gunung Padang Discovered?

Gunung Padang, located in Cianjur, West Java, Indonesia(Credit: Ade Lukmanul Hakimmm/Shutterstock)

The modern story of Gunung Padang begins in the late 19th century when Dutch settlers first became aware of the mighty pyramid just four hours south of Jakarta close to the village of Karyamukti.

According to the writing of Dutch historian Rogier Verbeek in 1891, “on the mountain top Goenoeng Padang, near Goenoeng Melati, a succession of 4 terraces, connected by steps of rough stone, paved with rough flat stones and decorated with numerous sharp and columnar upright andesite stones. On each terrace, a small mound, probably a grave, surrounded and covered with stones and topped with 2 pointed stones. In 1890, visited by Mr. De Corte.”

Of course, long before the Dutch East India Company brought slavery and colonialism to West Java, local inhabitants knew about Gunung Padang and its man-made stone terraces. Revering it as ‘The Mountain of Enlightenment,’ locals still perform mystical ceremonies at the site, which features a freshwater spring at its base.

For nearly a century, mainstream archeologists ignored Gunung Padang. But in 1979, a group of nearby farmers brought more attention to the mountain. Soon, the site became the focus of Indonesian researchers and archeologists.

What Is the Truth About Gunung Padang?

Natawidjaja stressed that his team’s research and surveys were multidisciplinary (not simply volcanological), and while volcanic intrusion was indeed present, there’s more to the story.

“Our comprehensive study, which includes geological, archaeological, and geophysical surveys, indeed confirmed the existence of the underground 'volcanic intrusion' […] aligning with Sutikno’s observations," Natawidjaja says. "However, our findings also present compelling evidence that challenges the perception of Gunung Padang as simply the neck of a nearby volcano.”

As for the carbon-dated cement mentioned by Sutikno, Natawidjaja also had other thoughts.

“Our research conclusively demonstrates that it is indeed a mortar, not a byproduct of natural weathering. Our team of experienced geologists has meticulously examined and analyzed the samples, leaving no room for doubt regarding their origin,” says Natawidjaja.

Ditemukan oleh Peneliti Belanda

Dalam bukunya yang berjudul "Situs Gunung Padang: Kebudayaan, Manusia, dan Lingkungan", Dr Yondri mengatakan bahwa situs Gunung Padang termasuk kelompok situs prasejarah yang ditemukan kembali.

Dr Yondri menyebutkan, catatan tentang bentuk Gunung Padang telah dilakukan oleh Verbeek pada tahun 1891 dan Krom pada tahun 1914.

Meski terpisah waktu sekitar 23 tahun, tapi tidak banyak perbedaan catatan tentang bentuk situs Gunung Padang. Keduanya mencatat bahwa situs Gunung Padang merupakan tinggalan punden berundak yang terdiri dari empat teras.

"Pendeskripsian tentang bentuk situs Gunung Padang kemudian diteliti kembali dan menghasilkan laporan pada tahun 1984, 1985, 1986, 2012, 2014, baik yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, maupun oleh Balai Arkeologi Bandung tahun 1996/1997, 2002, 2003, 2014, dan 2015," tulis Dr Yondri.

Analisis bentuk situs Gunung Padang dilakukan berdasarkan hasil kajian kepustakaan, rekaman situs menggunakan 3D laser Scanning (fotogrametri), dan penggambaran struktur situs melalui pemetaan menggunakan pesawat Theodolit, dan hasil penggambaran situs secara manual.

Perekaman tentang bentuk situs megalitik Gunung Padang berdasarkan hasil penelusuran sumber kepustakaan sudah dimulai sejak era pemerintahan kolonial Belanda.

"Berdasarkan hasil pengamatan terhadap material yang digunakan, secara umum situs Gunung Padang terbuat dari susunan bongkahan batu andesit berbentuk balok prismatik atau sering juga disebut dengan istilah batu kolom (columnar stones)," jelas arkeolog lulusan S3 Universitas Padjadjaran tersebut.

Berdasarkan keletakan bagian-bagian dari strukturnya, bagian pertama yang terletak paling rendah adalah struktur yang disebut sebagai sumur.

Struktur sumur merupakan bentuk susunan bongkahan batu kolom andesit yang dibuat melingkungi sumber air (mata air).

Bagian kedua dari struktur situs Gunung Padang disebut tangga utama. Tangga utama adalah bagian yang menghubungkan antara sumur dengan teras pertama atau teras I.

Bagian ketiga disebut teras. Situs Gunung Padang terdiri dari lima teras, terletak dengan orientasi utara-selatan. Kelima teras situs Gunung Padang tersebut terletak bertingkat-tingkat.

The Gunung Padang Controversy: A Clash of History and Science

If true, the findings at Gunung Padang change everything we thought we knew about the technological capabilities of humans in prehistoric times. Allegedly, this is when humans were only capable of building small, temporary shelters out of wood, bone, and animal hides — not megalithic stone structures or stepped pyramids on the scale of Giza in Egypt.

But this is what we find at Gunung Padang, where thousands of large stone slabs were transported from another region and expertly arranged in a grand work of masonry that appears to be six times older than the Pyramid of Giza, and that’s why the site is controversial.

Read More: Everything Worth Knowing About the Giza Pyramids

Digging Deeper Into Gunung Padang’s Chambers

Despite the pushback, Natawidjaja seems to welcome those who challenge his findings. He points out that the core samples his team surveyed from Gunung Padang in Indonesia show that the site is worthy of deeper investigation.

The idea of digging deeper is even more interesting because Ground Penetrating Radar (GPR), geo-electric (Electric Resistivity Tomography), seismic tomography, and core drillings have already revealed what appear to be buried chambers and tunnels. Are these simply caves created by volcanic processes? Or, are these deeply hidden Gunung Padang chambers like the ones buried inside the Pyramid of Giza? Only a carefully orchestrated excavation can tell us for sure.

In the meantime, one thing is certain, the mysteries that veil this exciting Javanese site will continue to perplex and capture the imaginations of future generations to come. For this reason, you might want to hike to the top of this archeological wonder with an ice-cold thermos of Java Robusta the next time you’re passing through Indonesia.

Read More: Secret 30-Foot Long Chamber In The Great Pyramid Discovered

Para ahli dari Barat ramai-ramai membantah studi yang mengklaim situs Gunung Padang sebagai piramida tertua di dunia. Mereka menilai klaim tersebut tak terbukti secara ilmiah.

Laporan bahwa situs Gunung Padang yang berada di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sebagai piramida tertua di dunia dan berusia lebih dari 25 ribu tahun lalu terbit pada November lalu.

Laporan itu disusun oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Danny Hilman Natawidjaja dkk di Archeological Prospection.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para pakar beranggapan penemuan situs setua itu belum pernah terjadi sebelumnya.

Stonehenge dan piramida besar tertua di Mesir saja baru berusia beberapa ribu tahun, sedangkan pemegang rekor sebelumnya, monumen batu Göbekli Tepe di Turki, diperkirakan berusia sekitar 11.000 tahun.

Sementara, Hilman dalam makalah itu mengungkap Gunung Padang kemungkinan dua kali lebih tua dari usia megalit kuno di atas.

"Bukti dari Gunung Padang menunjukkan bahwa praktik konstruksi yang maju sudah ada ketika pertanian, mungkin, belum ditemukan," klaim mereka.

Temuan itu kemudian mendapat respons keras dari banyak arkeolog, yang mengatakan bahwa tidak ada bukti yang disajikan oleh tim untuk membenarkan kesimpulan mereka tentang usia Gunung Padang.

Mereka berpendapat pemukiman di sana mungkin baru dibangun sekitar 6.000 hingga 7.000 tahun yang lalu.

"Data yang disajikan dalam makalah ini tidak memberikan dukungan terhadap kesimpulan akhirnya bahwa pemukiman tersebut sudah sangat tua. Namun hal itulah yang menjadi berita utama," kata Flint Dibble, arkeolog di Cardiff University. "Saya sangat terkejut makalah ini diterbitkan sedemikian rupa."

Menanggapi hal tersebut, Danny mengatakan bahwa penelitian ini sebetulnya untuk menjawab kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai studi ilmiah mereka.

"Penelitian ini menjawab kekhawatiran yang diajukan oleh pihak ketiga mengenai konten ilmiah makalah kami. Kami secara aktif terlibat dalam mengatasi permasalahan ini," kata Hilman, mengutip The Guardian, Selasa (19/12).

Kontroversi mengenai usia Gunung Padang itu muncul setelah film dokumenter dari Netflix, Ancient Apocalypse tayang bulan lalu. Dalam dokumenter tersebut, peneliti kontroversial Inggris Graham Hancock meninjau temuan tersebut.

Ia beranggapan kebudayaan kuno yang dulunya canggih, kemudian hancur dalam peristiwa kosmik, membawa ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, dan arsitektur monumental kepada masyarakat primitif yang menghuni dunia setelah zaman es terakhir.

Gunung Padang bisa menjadi contoh hasil karya mereka, kata Graham.

Sejumlah ilmuwan mengejek gagasan ini. "Dia (Graham) memunculkan mitos-mitos, penafsiran takhayul dan seringkali salah terhadap situs-situs arkeologi," kata ahli geologi Marc Defant.

Bill Farley, arkeolog di Southern Connecticut State University di New Haven, juga menyampaikan hal serupa.

"Sebuah teori, yang mengatakan bahwa sekelompok orang bijak kuno mengajari kita semua yang kita ketahui, menyederhanakan sejarah ke tingkat yang kasar dan juga merampas klaim masyarakat adat bahwa mereka mengembangkan budaya kuno dan kerajinan canggih mereka sendiri."

Hilman dalam sebuah kesempatan menganggap gagasan Hancock sebagai "hipotesis yang masuk akal".

Berada di perkebunan pisang dan teh, hampir 3.000 kaki (900-an meter) di atas permukaan laut dan berjarak 120 km dari Jakarta, Gunung Padang terdiri dari serangkaian teras batu di atas gunung api purba. Pecahan tembikar menunjukkan bahwa situs tersebut berusia beberapa ribu tahun.

Hilman dan timnya berargumen bahwa penggunaan radar menunjukkan di bawah bangunan utama terdapat beberapa lapisan buatan manusia yang lebih dalam, dengan lapisan terbawah dari inti lava yang mengeras menunjukkan tanda-tanda bahwa bangunan itu telah "dipahat dengan cermat".

Mengenai Situs Gunung Padang (Foto: Laudy Gracivia)

Nihil bukti hingga bukan piramid di halaman berikutnya...

Tim peneliti melaporkan sampel tanah yang diambil dari material bukit jauh di bawah situs tersebut berumur 27 ribu hingga 16 ribu tahun, dan penambahan selanjutnya diperkirakan berusia sekitar 8 ribu tahun.

Mereka kemudian menyimpulkan Gunung Padang memiliki bukti jelas bahwa pembangunan piramida itu dapat ditelusuri kembali ke 25 ribu tahun atau lebih.

Namun, klaim tersebut ditolak oleh Dibble dan lainnya. Mereka menyatakan Hilman dan tim tidak memberikan bukti material yang terkubur itu adalah buatan manusia.

Para ahli mengatakan benda tersebut mungkin berusia lebih dari 20 ribu tahun, tapi kemungkinan berasal dari alam karena tidak ada bukti keberadaan manusia, seperti kerangka atau artefak di dalam tanah.

"Jika Anda pergi ke Istana Westminster dan menjatuhkan inti tujuh meter ke dalam tanah dan mengambil sampel tanah, Anda mungkin memperkirakan umurnya adalah 40.000 tahun," kata Dibble.

"Namun bukan berarti Istana Westminster dibangun 40.000 tahun lalu oleh manusia purba. Artinya, ada karbon di bawah sana yang berumur 40.000 tahun. Sungguh luar biasa makalah ini diterbitkan."

Hilman kemudian membalas bahwa "pengamatan yang menjadi landasan penelitian kami didukung oleh analisis paparan yang cermat, penebangan dinding parit, studi pengeboran inti, dan survei geofisika yang komprehensif dan terintegrasi," katanya.

Hal ini tidak diterima oleh peneliti lain.

"Klaim ini melibatkan lompatan besar dari data yang mereka miliki, yang paling menarik, menuju kesimpulan besar tentang piramida yang terkubur jauh di bawah tanah," kata Farley.

"[Studi] ini benar-benar lemah dan saya pikir sangat masuk akal jika makalah ini diselidiki. [Makalah] itu tidak layak untuk dipublikasikan dan saya tidak akan terkejut jika akhirnya ditarik kembali," sindirnya.

Selain pakar Barat, kritik juga disampaikan arkeolog senior Indonesia, Truman Simanjuntak. Direktur Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS) ini menyebut situs Gunung Padang bukan piramida, melainkan punden berundak.

"Gunung padang bukan piramid tapi punden berundak, salah satu unsur budaya megalitik yang difungsikan sebagai sarana pemuliaan roh leluhur," kata dia, saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Truman menjelaskan situs Gunung Padang dibangun dengan kearifan para leluhur yang memanfaatkan kontur bukit sebagai undakan-undakan yang merepresentasikan tingkat kesakralan.

Menurut dia undakan-undakan ditempatkan sarana-sarana pemuliaan dengan memanfaatkan columnar joint yang tersedia sebagai menhir, batas-batas ruang upacara, bahkan fungsi teknis melindungi undakan tertentu dari longsoran.

"Klaim ada ruangan di dalam bukit dengan tahapan-tahapan pembangunannya sama sekali tidak didukung data arkeologi, jadi tanpa campur tangan manusia. Kaitan dengan itu, klaim umur bangunan sejak lebih 20 ribu tahun tidak berdasar," ujar dia.

Truman juga menegaskan bahwa leluhur megalitik Nusantara tidak mengenal membangun ruang bawah tanah untuk fungsi profan apalagi sakral. Mereka memanfaatkan gua-gua alam jika mereka butuh ruang tertutup untuk hidup.

Menurut dia, untuk menarik suatu kesimpulan atau interpretasi perlu kehati-hatian.

Suatu konstruksi teori atau interpretasi arkeologi harus didukung data dan fakta, antara lain data spesifik (artefaktual, ekofaktual, dan fitur); data kontekstual ( temuan asosiasi, stratigrafi, dll.); serta data konteks keruangan kawasan dan global.

"Klaim itu tidak memenuhi dasar ini. Punden berundak Gunung Padang sama dengan punden lainnya di Jawa Barat dan Indonesia umumnya."

"Tinggalan megalitik untuk pemujaan yang berkembang sejak sekitar awal-awal masehi dan berlanjut seiring waktu, serta hingga kini di daerah tertentu masih bertahan," pungkasnya.

Fringe date hypothesis

Danny Hilman Natawidjaja, an Indonesian geologist, has claimed that the site had been built as a giant pyramid 9,000 to 20,000 years ago, implying the existence of an otherwise unknown advanced ancient civilization.[11][unreliable source?][12][13] Natawidjaja's analysis has been questioned by other scientists. Vulcanologist Sutikno Bronto concluded that Gunung Padang is the neck of an ancient volcano and not an artificially created pyramid.[13][14] Archaeologist Víctor Pérez has described Natawidjaja's conclusions as pseudoarchaeology.[2]

Natawidjaja's ideas gained the attention of Indonesia's president Susilo Bambang Yudhoyono, who set up a task force.[2] An archaeologist who did not wish to be named due to the involvement of the country's president stated:

In archaeology we usually find the 'culture' first ... Then, after we find out the artefact's age we'll seek out historical references to any civilisation which existed around that period. Only then will we be able to explain the artefact historically. In this case, they 'found' something, carbon-dated it, then it looks like they created a civilisation around the period to explain their finding.[13]

Natawidjaja has been joined by a former activist-turned-politician and member of Yudhoyono's Democratic Party, Andy Arif, in advancing these pseudoarchaeological ideas. Thirty-four Indonesian archaeologists and geologists signed a petition questioning the motives and methods of the Hilman-Arif team and submitted it to Yudhoyono.[13]

In October 2023, an article by Natawidjaja et al., published in Archaeological Prospection, claimed that Gunung Padang is the oldest pyramid in the world, dating as far back as 27,000 years ago. In March 2024, the publisher of Archaeological Prospection, Wiley, and the editors, retracted that paper, stating that:

...the radiocarbon dating was applied to soil samples that were not associated with any artifacts or features that could be reliably interpreted as anthropogenic or "man-made". Therefore, the interpretation that the site is an ancient pyramid built 9,000 or more years ago is incorrect, and the article must be retracted.[15]

Bisnis.com, JAKARTA - Sejarah peradaban kuno dipercaya tersimpan di Indonesia seiring dengan ditemukannya situs-situs yang berumur ribuan tahun. Salah satu yang diyakini sebagai piramida tertua di dunia yakni Situs Gunung Padang.

Selain situs Candi Borobudur yang ditemukan pada 1814, Indonesia masih memiliki situs yang berumur jauh lebih tua. Situs ini bahkan dipercaya menjadi pendahulu pembangunan Candi Borobudur.

Situs Gunung Padang merupakan salah satu situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Lokasinya tepat berada di Kampung Gunung Padang, Kabupaten Cianjur.

Dilansir dari laman resmi Situs Gunung Padang, keberadaan situs ini dilaporkan pertama kali oleh Nicolaas Johannes Krom dalam tulisannya yang berjudul Rapporten Oudheidkundige Dienst (Buletin Dinas Kepurbakalaan) pada 1914.

Kemudian, Krom melaporkan bahwa di puncak Situs Gunung Padang terdapat empat teras yang tersusun dari batu kasar serta dihiasi batu andesit dan di setiap teras terdapat gundukan tanah yang ditimbuni batu.

Setelah sempat terabaikan selama beberapa dekade, penelitian Situs Gunung Padang kembali dilakukan pada 1979 setelah masyarakat melaporkan tentang keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun.

Situs Gunung PadangPerbesar

Luas area Situs Gunung Padang terhitung mencapai 3 hektar dan disebut sebagai situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Berbeda dengan namanya, Situs Gunung Padang bukan berupa gunung melainkan teras berundak yang terdiri atas lima tingkat teras tersusun dalam berbagai ukuran.

Bentuk bangunannya berupa batu-batu besar membentuk pola tersusun seperti altar bertingkat hingga bagian atas sebagai titik puncaknya.

Situs Gunung Padang disebut sebagai situs tertua di dunia mengalahi situs Piramida Giza di Mesir. Hal ini didasari atas perhitungan yang memperkirakan Situs Gunung Padang dibangun pertama kali pada 8000 SM.

Usia ini tertaut jauh jika dibandingkan dengan Piramida Giza di Mesir yang dibangun sekitar 2500 SM. Secara kronologis, situs Gunung Padang juga merupakan bagian dari sejarah peradaban bangsa Indonesia yang meliputi masa prasejarah, Hindu-Budha, masa pengaruh Islam, dan masa pengaruh eropa.

Tradisi megalitik yang muncul pada zaman prasejarah seringkali ditandai dengan struktur bangunan dan artefak batu dalam ukuran yang besar. Hal ini ada pula pada Situs Gunung Padang.

How the Indonesian Pyramid of Gunung Padang was Built

Ancient stone from Gunung Padang site (Credit: Inpics/Shutterstock)

According to Natawidjaja, the data that supports their findings shows that the Gunung Padang pyramid is a bit like a three-layer cake, and each layer was built thousands of years apart. He says the most recent layer, known as Unit-1, was constructed about 3,000 years to 4,000 years ago. The next oldest, Unit-2, was built around 7,500 years to 8,000 years ago. The oldest part of the structure, Unit-3, could be as ancient as 16,000 years to 27,000 years. This supports the research done by B.M Kim, which suggested the pyramid dates back to between 300 and 2,000 B.C.E.

Interestingly, Natawidjaja says, “Unit-2 may potentially be a stepped pyramid."

In his 2023 study of the site, he explains that Gunung Padang is more than just an old stone terrace; it's a complex structure buried underground featuring large chambers and hollow spaces. The carbon dating suggests that the initial construction could have taken place during the last Ice Age, in the Paleolithic era, and was later modified in the Holocene or Neolithic era.

Natawidjaja’s team came to these conclusions by comparing the ages of samples from the volcanic base layer (which is millions of years old) and the three layers of construction.

“In contrast [to the volcano], soil samples taken from between fragmented rocks have been dated to only a few thousand to a few tens of thousands of years old, which presents an enigma in natural geological processes," says Natawidjaja. "Geological principles dictate that soils cannot migrate from the near-surface layers to deeper depths over time. Hence, the juxtaposition of relatively young soils between ancient rock layers poses a significant geological challenge.”

The conclusion: Only a technologically advanced culture during the Ice Age could have positioned those stones. Recognizing the impact of the findings, Natawidjaja once told The Sydney Morning Herald, “It’s crazy, but it’s data.”

Mitos Punden Gunung Padang

Mitos yang melekat pada Situs Gunung Padang merujuk pada sejarah tempat singgah Prabu Siliwangi dalam melakukan suatu tirakat Tapa Brata untuk mendapatkan petunjuk dari Sang Pencipta Alam Semesta. Masyarakat setempat mempercayai mitos ini atas bukti adanya lekukan pada batu yang menyerupai senjata Kujang dan dan tapak kaki harimau.

Masyarakat juga meyakini mitos tersebut berdasarkan cerita yang berlangsung secara turun-temurun. Selain itu, para pengunjung seringkali melakukan ritual semedi di teras kelima yang konon dijaga oleh oleh seekor harimau. Meski begitu, mitos yang berkembang di masyarakat memang tidak terlihat oleh kasat mata, tetapi dapat dirasakan manfaatnya oleh wisatawan sebagai daya tarik untuk berkunjung ke Situs Gunung Padang. (Nona Amalia)

Controversial findings at Gunung Padang — a massive Indonesian pyramid sitting on top of an ancient volcano — could flip everything we thought we knew about prehistory on its head. If the findings are true, Gunung Padang shows that Ice Age humans possessed advanced technology, unlike anything we could have imagined.

Nevertheless, mainstream archeologists are skeptical of these conclusions, and many have tried to discredit the geologist at the center of them. That geologist is Caltech researcher Danny Hilman Natawidjaja, who has devoted much of his life to an in-depth geo-archeological survey of this incredible site.

In this article, we explore the archeological wonder of Gunung Padang and why Natawidjaja believes it’s proof of a sophisticated civilization that flourished up to 27,000 years ago.

Is Gunung Padang the Oldest Pyramid in the World?

Elongated rock formations piled together at the megalithic site of Gunung Padang (Credit: Upen supendi/Shutterstock)

Since the 1980s, a number of in-depth surveys have been conducted at Gunung Padang, but researchers continue to disagree about its age. Some claim that the stone constructions date back to the first millennium A.D., and pottery fragments from the site were dated to 45 B.C.E to 22 C.E.

Another camp believes that Gunung Padang’s age is older. In 1982, B.M. Kim dated the site to 300 to 2000 B.C.E. But even these estimates are mild compared to the most shocking evaluation of them all — that the deepest layers of Gunung Padang are 16,000 years to 27,000 years old. That would make Gunung Padang the oldest pyramid in the world.

This theory — that Gunung Padang dates back to the Ice Age — is based on the work of geologist Danny Hilman Natawidjaja and his multidisciplinary team of scientists, archeologists, and volunteers. From 2011 to 2014, Natawidjaja and his associates conducted numerous field studies at Gunung Padang including ground penetrating radar, core drilling, and radiocarbon analysis.

With specific regard to the topmost layer of Gunung Padang, Natawidjaja says he agrees with the conclusions of B.M. Kim.

“The estimated age of 300 to 2,000 B.C.E. by B.M. Kim in 1982 aligns with our findings as it likely corresponds to the stone terraces,” says Natawidjaja. However, he notes that there’s another story to Gunung Padang when you examine the deeper layers of construction.

Read More: The Oldest Ancient Wonder Still Exists Today, 4,500 Years Later